Rabu, 16 Maret 2011

TRAUMA KEPALA

TRAUMA KEPALA

Pendahuluan
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi, fisiologi dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasar morfologi :
(1). Fraktura tengkorak.
(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.
(b). Basiler :
1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.
Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS ≤ 8, adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.

BERDASAR BERATNYA
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.

BERDASAR MORFOLOGI
Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.

Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.

Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter denyut nadi (bila ada).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.

TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3. TINDAKAN TERHADAP OTAK
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.
Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.
Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia).
Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.

TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala. Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat membantu menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong sangat menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa anda”.
Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.

PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.

















Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?”
Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm Hg
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera diketahui.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA
HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA
HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.
1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.
Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8

















Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi pendek).
Herniasi ?* ± Hiperventilasi *
Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *
* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
GCS < 10.
Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
Fraktur tengkorak terdepres.
Hematoma subdural.
Hematoma epidural.
Hematoma intraserebral.
Cedera tembus tengkorak.
Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.
Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg.
Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar