Rabu, 16 Maret 2011

Idiopatik Trombositopeni Purpura

Idiopatik Trombositopeni Purpura


Definisi
  ITP adalah suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit / selaput lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak diketahui. (ITP pada anak tersering terjadi pada umur 2 – 8 tahun), lebih sering terjadi pada wanita. (Kapita selekta kedokteran jilid 2).
o ITP adalah salah satu gangguan perdarahan didapat yang paling umum terjadi.(Perawatan Pediatri Edisi 3)
o ITP adalah syndrome yang di dalamnya terdapat penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sum-sum normal.


Etiologi
a. Penyebab pasti belum diketahui (idiopatik).
b. Tetapi kemungkinan akibat dari:
o Hipersplenisme.
o Infeksi virus.
o Intoksikasi makanan / obat (asetosal para amino salisilat (PAS). Fenil butazon, diamokkina, sedormid).
o Bahan kimia.
o Pengaruh fisi (radiasi, panas).
o Kekurangan factor pematangan (malnutrisi).
o Koagulasi intra vascular diseminata CKID.
o Autoimnue.
Jenis Idiopatik Trombositopeni Purpura
a. Akut.
o Awalnya dijumpai trombositopenia pada anak.(2-8 tahun)
o Jumlah trombosit kembali normal dalam 6 bulan setelah diagnosis (remisi spontan).
o Tidak dijumpai kekambuhan berikutnya.
b. Kronik
o Trombositopenia berlangsung lebih dari 6 bulan setelah diagnosis.
o Awitan tersembunyi dan berbahaya.
o Jumlah trombosit tetap di bawah normal selama penyakit.
o Bentuk ini terutama pada orang dewasa.

MANIFESTASI KLINIS
Awitan biasanya akut dengan gambaran sebagai berikut:
a. Masa prodormal, keletihan, demam dan nyeri abdomen.
b. Secara spontan timbul petekie dan ekimosis pada kulit.
c. Epistaksis.
d. Perdarahan mukosa mulut.
e. Menoragia.
f. Memar.
g. Anemia terjadi jika banyak darah yang hilang karena perdarahan.
h. Hematuria.
i. Melana.

PATOFISIOLOGI
Trombositopenia pada PTI disebabkan terjadinya kerusakan yang berlebihan dari trombosit sedangkan pembentukannya normal atau meningkat. Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh faktor yang heterogen, sampai saat ini belum diperoleh kesepakatan mengenai mekanismenya. Harrington (1951) menyimpulkan bahwa kerusakan trombosit disebabkan adanya Humoralantiplatelet factor di dalam tubuh, yang saat ini dikenal sebagai PAIgG atau Platelet Associated IgG.
Court dan kawan-kawan telah membuktikan bahwa PAIgG meningkat pada PTI, sedangkan Lightsey dan kawan-kawan menemukan PAIgG lebih tinggi pada PTI akut dibanding bentuk kronik. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mekanisme kerusakan trombosit pada bentuk akut dan kronik.
PAIgG diproduksi oleh limpa dan sumsum tulang. Kenaikan produksi PAIgG adalah akibat adanya antigen spesifik terhadap trombosit dan megakariosit dalam tubuh. Pada bentuk akut antigen spesifik diduga bersumber dari infeksi virus yang terjadi 1-6 minggu sebelumnya. Antigen ini bersama PAIgG membentuk kompleks antigen-antibodi, dan selanjutnya melekat di permukaan trombosit. Perlekatan ini menyebabkan trombosit akan mengalami kerusakan akibat lisis atau penghancuran oleh sel-sel makrofag di RES yang terdapat di hati, limpa, sumsum tulang dan getah bening. Kerusakan yang demikian cepat dan jumlah yang besar menyebabkan terjadinya trombositopenia yang berat diikuti manifestasi perdarahan.

PENATALAKSANAAN
a. ITP Akut
o Ringan: observasi tanpa pengobatan → sembuh spontan.
o Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit belum naik, maka berikan kortikosteroid.
o Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka berikan immunoglobulin per IV.
o Bila keadaan gawat, maka berikan transfuse suspensi trombosit.
b. ITP Menahun
o Kortikosteroid diberikan selama 5 bulan.
Missal: prednisone 2 – 5 mg/kgBB/hari peroral. Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid berikan immunoglobulin (IV).
o Imunosupressan: 6 – merkaptopurin 2,5 – 5 mg/kgBB/hari peroral.
- Azatioprin 2 – 4 mg/kgBB/hari per oral.
- Siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari per oral.
o Splenektomi.
- Indikasi:
o Resisten terhadap pemberian kortikosteroid dan imunosupresif selama 2 – 3 bulan.
o Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat.
o Penderita yang menunjukkan respon terhadap kortikosteroid namun perlu dosis tinggi untuk mempertahankan klinis yang baik tanpa perdarahan.
- Kontra indikasi:
o Anak usia sebelum 2 tahun: fungsi limpa terhadap infeksi belum dapat diambil alih oleh alat tubuh yang lain (hati, kelenjar getah bening dan thymus)

Myelodysplastic Syndrome [MDS]

Myelodysplastic Syndrome [MDS]

Latar belakang
Insidensi sebenarnya MDS tidak diketahui. Penyakit ini pertama kali diketahui sebagai penyakit tersendiri pada tahun 1976 dan kejadiannya diperkirakan sekitar 1500 kasus baru per tahun. Pada waktu itu, hanya pasien dengan blas kurang dari 5% yang dianggap sebagai MDS. Persepsi bahwa insidensi MDS meningkat merupakan akibat dari kemajuan dalam mengenali penyakit ini dan kriteria diagnosisnya. Data statistik dari tahun 1999 menunjukkan bahwa 13.000 kasus baru terjadi per tahun (sekitar 1000 kasus per tahun pada anak-anak) sehingga membuat leukemia limfositik kronik menjadi jenis leukemia yang paling sering terjadi di negara-negara barat.1
Data tahun 2001 hingga 2003 dari National Cancer Institute’s Surveillance, Epidemiology & End Reports (SEER) menunjukkan 86% kasus MDS didiagnosis pada individu yang berusia >60 tahun (nilai tengah 76 tahun) dan lebih sering pada pria dibandingkan wanita (4,5 vs 2,7 per 100.000 kasus).2 Data lain dari SEER juga menunjukkan bahwa insidensi MDS diperkirakan meningkat sesuai usia yang berkisar dari 0,7 per 100.000 kasus selama dekade keempat hingga 20,8-36,3 per 100.000 kasus setelah usia 70 tahun. Terdapat perbedaan risiko 5 kali lipat antara usia 60 tahun dan >80 tahun. Prevalensi MDS sekarang diperkirakan berkisar antara 35.000-55.000 kasus di Amerika Serikat.3,4 Angka yang tampak meningkat ini diyakini akibat meningkatnya angka harapan hidup untuk mencapai usia yang lebih tua. MDS ditemukan memiliki gambaran serupa di seluruh dunia. MDS lebih banyak terjadi pada laki-laki di semua usia dan usia primer mengalaminya adalah usia lanjut dengan median onset pada dekade ketujuh kehidupan. Usia tengah penyakit ini juga disebutkan pada usia 65 tahun dengan kisaran antara dekade ketiga kehidupan hingga usia >80 tahun. MDS dapat terjadi pada seseorang di semua usia, termasuk anak-anak.1

Definisi
Sindroma mielodisplastik (myelodysplastic syndrome [MDS]) adalah sekelompok gejala heterogen akibat gangguan-gangguan pembelahan hematopoietik yang saling berkaitan erat. Semua gangguan tersebut ditandai oleh hiperselularitas maupun hiposeluleritas sumsum tulang disertai kelainan bentuk dan proses pematangan (dismielopoiesis) yang akhirnya menyebabkan sitopenia di sirkulasi perifer akibat produksi sel darah yang tidak efektif.5 Ketiga lini sel pada hematopoiesis myeloid dapat terlibat, yaitu lini sel eritrositik, granulositik, dan megakariositik. Meskipun MDS dianggap sebagai kondisi pra-keganasan pada sekelompok pasien yang seringkali berkembang menjadi leukemia mieloid akut (acute myeloid leukemia [AML]) ketika terjadi kelainan genetik tambahan.1

Patofisiologi
MDS dibagi menjadi tipe primer yang penyebabnya tidak diketahui dan tipe sekunder yang merupakan akibat komplikasi pengobatan agresif terhadap kanker lain, seperti radioterapi, agen alkilasi atau penghambat topoisomerase II, dan pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang otolog. Cedera sel stem hematopoietik awalnya merupakan akibat dari kemoterapi yang sitotoksik, paparan radiasi, infeksi virus, paparan zat kimia dari benzena serupa genotoksin, atau predisposisi genetik. Klon mutan kemudian akan mendominasi seluruh sumsum tulang dan menekan sel stem yang sehat. Pada tahap awal, penyebab utama sitopenia adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Seiring perkembangan penyakit menjadi leukemia, mutasi gen berikutnya akan terus terjadi (meskipun jarang) dan proliferasi sel leukemik akan mendesak sumsum tulang yang masih sehat.1

PembagianPerjalanan penyakit MDS sangat bervariasi. Beberapa pasien mengalami perjalanan penyakit yang lambat sedangkan beberapa lainnya sangat agresif dengan perjalanan klinis yang sangat singkat dan berubah menjadi leukemia akut. Perkumpulan ahli hematologi internasional, French-American-British (FAB) Cooperative Group, membagi penyakit ini menjadi 5 kelompok yang membedakannya dari leukemia mieloid akut. Perubahan displastik ketiga lini sel pada sumsum tulang pasien terdapat pada semua kelompok ini.6
Dua kelompok anemia refrakter (refractory anemia [RA]) yang ditandai oleh <5% mieloblas pada sumsum tulang adalah RA tunggal dan RA yang disertai cincin sideroblas (ringed sideroblasts [RARS]) (15% sel eritroid dengan kelainan cincin sideroblas) yang mencerminkan kelainan akumulasi besi di mitokondria. Kedua kelompok ini memiliki perjalanan klinis yang panjang dan prevalensinya rendah untuk berkembang menjadi leukemia akut.1
Sedangkan dua kelompok RA dengan mieloblas >5% adalah RA yang disertai blas berlebih (refractory anemia with excess blasts [RAEB]) dengan 6-20% mieloblas dan RAEB yang sedang bertransformasi (RAEB in transformation [RAEB-T]) dengan 21-30% mieloblas. Semakin tinggi persentase mieloblas, semakin pender perjalanan klinis dan semakin dekat penyakit ke fase akut mielogenik leukemia (AML). Transisi pasien dari tahap dini hingga tahap yang lebih lanjut mengindikasikan bahwa kelompok ini hanyalah sebuah tahapan penyakit, bukan penyakit tersendiri. Pasien lanjut usia dengan MDS dengan displasia tiga lini sel dan >30% mieloblas yang berkembang menjadi leukemia akut seringkali dianggap memiliki prognosis buruk karena respon penyakit terhadap kemoterapi lebih buruk daripada pasien AML. Klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 1999 menentukan bahwa semua kasus RAEB-T (>20% mieloblas) terdapat di dalam kategori leukemia akut karena pasien-pasien ini memiliki keluaran prognostik yang serupa. Namun, respon terhadap terapi lebih buruk pada pasien dengan AML de novo, AML yang lebih tipikal lagi, atau leukemia non-limfositik.7
Kelompok kelima MDS yang paling sulit diantara lainnya disebut sebagai leukemia mielomonositik kronik (chronic myelomonocytic leukemia (CMML). Kelompok ini dapat memiliki persentase mieloblas berapa pun tetapi bermanifestasi menjadi monositosis >1000/µL. CMML dihubungkan dengan adanya splenomegali. Kelompok ini sering tumpang tindih dengan penyakit-penyakit mieloproliferatif (myeloproliferative disease [MPD]) dan dapat memiliki perjalanan klinis intermediet. CMML harus dibedakan dari leukemia mielositik kronik klasik (classic chronic myelocytic leukemia) yang ditandai oleh kromosom Ph(-). Klasifikasi WHO 1999 menentukan bahwa CMML juvenil dan proliferatif didaftar secara terpisah dari klasifikasi FAB di bawah kondisi MDS/MPD dengan splenomegali dan memiliki leukosit >13.000/uL. CMML dalam klasifikasi FAB pada MDS dibatasi menjadi monositosis yang memiliki leukosit <13.000/uL dan memerlukan displasia tiga lini sel.1

AnamnesisPerkembangan MDS terjadi dalam beberapa tahun dari anemia makrositik yang tidak jelas tanpa bukti anemia megaloblastik dan trombositopenia atau neutropenia ringan. Gejala klinis yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang untuk MDS berkaitan dengan rendahnya hitung sel darah tepi, biasanya dari anemia, neutropenia, atau trombositopenia. Rasa lemah, lesu, dan lelah secara umum berkaitan dengan anemia. Pasien dengan masalah jantung dapat mengalami gagal jantung kongestif, tergantung pada derajat anemia. Seringkali pasien-pasien ini memerlukan transfusi packed red cells (PRC) untuk menjaga kualitas hidupnya.1
Petekie, ekimosis, dan perdarahan hidung maupun gusi merupakan manifestasi yang sering terjadi oleh karena rendahnya hitung trombosit. Jika perubahan displastik yang mendasari tidak dikenali sejak awal, trombositopenia sebagai gejala yang muncul dapat dikira trombositopenia autoimun. Fungsi trombosit yang buruk merupakan penyebab lain terjadinya peningkatan risiko perdarahan. Demam, batuk, disuria, atau syok mungkin merupakan manifestasi infeksi bakteri atau jamur yang berkaitan dengan neutropenia. Sementara fungsi granulositik yang buruk dari neutrofil juga berperan dalam meningkatkan risiko infeksi.1

Pemeriksaan fisik
Petekie atau ekimosis dapat ditemukan sebagai manifestasi perdarahan bawah kulit. Epistaksis dan perdarahan gusi umumnya berhubungan dengan trombositopenia yang berat. Hemoptisis, hematuria, dan darah di tinja dapat pula ditemukan. Warna kulit atau membran mukosa yang pucat maupun bukti adanya rasa lelah, takikardi, atau gagal jantung kongestif merupakan manifestasi dari anemia berat. Limpa yang membesar ditemukan pada pasien dengan CMML yang seringkali tumpang tindih dengan MDS. CMML harus dibedakan dari CML. Adanya demam dan infeksi, seperti pneumonia dan infeksi saluran kencing, mungkin berkaitan dengan neutropenia yang berhubungan dengan penyakit ini.1

Penyebab
Berdasarkan temuan pemeriksaan sitogenetik pada MDS dan AML, pasien dapat memiliki kariotipe normal, kelainan kromosom seimbang yang menyebabkan terbentuknya fusi onkogen, dan kariotipe kompleks (biasanya >3 kelainan) pada kelompok ini menunjukkan prognosis dan respon terapi yang buruk. Prognosis buruk ini terjadi pada 30% MDS de novo (hanya 20% yang dalam bentuk AML de novo) dan 50% pada AML terkait terapi dan MDS dengan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem terapi pada kelompok ini. Kelainan translokasi yang berimbang menyebabkan terbentuknya fusi onkogen seperti Bcr-Abl pada CML dan PML-Rar alfa pada APL sedangkan aberasi rekurens yang tidak berimbang paling banyak pada lengan kromosom -5, 5q-,-7, 7q-, +8, 11q-, 13q-, dan 20q-, menunjukkan bahwa gen dalam regio ini berperan dalam patogenesis MDS/MPD yang didasarkan pada hilangnya gen supresor tumor atau gen haploinsufisiensi yang penting dalam mielopoiesis normal.1
Pasien yang bertahan terhadap terapi kanker dengan agen alkilasi, disertai radioterapi maupun tidak, memiliki risiko tunggi berkembangnya MDS atau leukemia akut sekunder. Sekitar 60-70% pasien yang tidak memiliki riwayat paparan yang jelas maupun penyebab MDS diklasifikasikan sebagai MDS primer. MDS sekunder digambarkan sebagai perkembangan dari MDS atau leukemia akut setelah diketahui paparan terhadap kemoterapi yang dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang. Obat-obat ini dihubungkan dengan tingginya prevalensi kelainan kromosom (setelah paparan dan saat terdiagnosis MDS atau leukemia akut).1
MDS primer atau idiopatik merupakan bentuk yang paling sering terjadi. Namun, riwayat paparan yang tidak spesifik terhadap zat kimia atau radiasi pada 10-15 tahun sebelum onset penyakit mungkin dapat ditemukan dalam sekitar 50% pasien. Kaitan hal ini dengan patogenesis masih belum terbukti. Zat kimia lain bersifat leukemogenik. Zat seperti benzena dicurigai berperan dalam hal ini. Insektisida, pembasmi rumput, dan fungisida merupakan penyebab yang mungkin mengakibatkan MDS dan leukemia sekunder. Bukti yang mendukung predisposisi genetik masih sangat kurang tetapi insidensi familial masih cukup tinggi. Infeksi virus juga dicurigai memainkan peran dalam patogenesis MDS.8

Pemeriksaan laboratoriumPerubahan signifikan ditemukan pada hitung darah tepi dan morfologi pasien MDS serta kelainan sumsum tulang. Hitung darah tepi mencerminkan sitopenia tunggal (anemia, trombositopenia, atau neutropenia) pada tahap awal atai bisitopenia (2 lini sel) dan pansitopenia (3 lini sel) pada tahap akhir. Derajat anemia bervariasi dari ringan hingga berat. Biasanya makrositik (mean cell volume [MCV] >100 fL) dengan eritrosit berbentuk oval (makro-ovalosit). Biasanya dimorfik (>2 populasi) yang terdiri atas beberapa eritrosit yang normal atau mikrositik hipokromik bersama dengan eritrosit yang makrositik. Bentukan seperti koma yang basofilik juga ditemukan pada eritrosit.1
Neutropenia dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Kelainan morfologik seringkali ditemukan pada granulosit. Semuanya dapat memiliki inti dengan dua lobus atau tidak tersegmentasi (kelainan pseudo-Pelger-Huet) atau hipersegmentasi pada inti sel (6-7 lobus) yang mirip dengan penyakit megaloblastik. Kelainan granulasi dapat bervariasi dari tidak ada granul hingga kelainan distribusi di sitoplasma (badan Dohle). Hitung trombosit menurun (jarang meningkat) dan menunjukkan kelainan ukuran morfologik dan sitoplasma, seperti trombosit hipogranular raksasa dan fragmen megakariosit.1
Pada kebanyakan kasus, perubahan sumsum tulang mencakup hiperselularitas dengan perubahan displastik ketiga lini sel darah. Sejumlah kecil pasien mungkin memiliki sumsum tulang yang hiposeluler. Hal ini sering tumpanh tindih dengan anemia aplastik. Peningkatan fibrosis sumsum tulang dapat dikacaukan oleh jenis MPD lain. Perubahan displastik pada lini eritrosit (diseritropoiesis) merupakan tanda yang sangat khas. Tanpa adanya defisiensi vitamin B12 atau folat, sumsum tulang berubah biasanya bermanifestasi berupa perubahan yang serupa dengan maturasi asinkron inti dan sitoplasma sel sebagaimana digambarkan pada anemia megaloblastik. Perubahan lain mencakup binuklearitas atau multinuklearitas pada sel prekursor sel eritroid dan adanya cincin sideroblas (akulasi besi di mitokondria). Hal ini digunakan oleh FAB untuk mengklasifikasikan 2 tipe RA, yaitu tipe dengan cincin sideroblas (RARS0 dan tipe tanpa cincin sideroblas.1
Perubahan displastik pada lini leukosit (dismielopoiesis) menunjukkan adanya hiperplasia mieloid dengan peningkatan jumlah mieloblas dan meluasnya populasi mielosit maupun metamielosit (tahap pertengahan). Hal ini memisahkannya dari leukemia akut (hiatis leukemik atau ketiadaan tahap pertengahan). Persentase mieloblas telah digunakan oleh klasifikasi FAB dalam membedakan RA(<5%), RAEB (5-20%), RAEB dalam transformasi (>20%, <30%), dan AML (>30%).[8] Kelainan morfologik diakibatkan oleh disosiasi inti maupun sitoplasma dalam hal maturasi dan ketikan bentuk pseudo-Pelger juga terdapat di sumsum tulang. Distrombopoiesis dalam produksi trombosit terdiri atas mikromegakariosit (bentuk dwarf) dengan lobulasi yang buruk pada inti sel dan pertunasan trombosit raksasa dari sitoplasmanya.1
Pemeriksaan sitogenetik sel-sel di sumsum tulang mengindikasikan adanya mutasi pada lini sel klon dengan kelainan kromosom pada 48-64% pada berbagai seri pemeriksaan. Dengan menggunakan teknik resolusi tinggi (hibridisasi in situ fluoresen), beberapa praktisi mengklaim 79% tingkat kelainan kromosom pada MDS primer pasien. kelainan kromosom merupakan klon dan mencakup lengan kromosom 5q-, monosomi 7 (-7) atau 7q-, trisomi 8 (+8), dan beberapa lainnya yang kurang sering terjadi. Kombinasi multipel yang timbul mengindikasikan programnya memiliki prognosis yang sangat buruk. Keyakinan tunggal, kecuali dalam situasi dengan kromosom 7 yang biasanya mengindikasikan prognosis yang baik maupun angka harapan hidup.1
Pemeriksaan histopatologik
Adanya perubahan displastik pada hapusan darah tepi dan displasi ketiga lini sel maupun hiperselularitas sumsum tulang tanpa disertai defisiensi vitamin merupakan kunci diagnostik MDS. Adanya kelainan kromosom yang tipikal mendukung diagnosisnya dan berperan dalam menentukan prognosis MDS.1

Penentuan stadiumKarena pasien dengan MDS memiliki manifestasi klinis yang heterogen dan berbagai keluaran (outcome) klinis, penentuan stadium pasien untuk menentukan prognosis dan pendekatan terapi berdasarkan derajat dan stadium penting dilakukan. Selain itu, klasifikasi FAB sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya bukanlah mekanisme stadium yang adekuat. Kelompok ahli berskala internasional dalam International Prognostic Scoring System (IPSS) telah menentukan kriteria baru untuk stadium MDS.9
CMML dalam klasifikasi FAB membutuhkan hitungan monosit aktual lebih dari 1000/?L dengan trilineage displasia. WHO mengklasifikasikan CMML ke berikut: Juvenile dan proliferatif CMML di bawah MDS / MPDs memiliki lebih dari 13.000 / ?L monosit splenomegaly ditambah. Myelodysplastic CMML bawah syndrome (MDS) adalah terbatas pada monocytosis kurang dari 13.000 / ?L dengan trilineage displasia.1
Pengobatan
Standar perawatan untuk pasien dengan sindrom myelodysplastic (MDS) dan penurunan jumlah sel darah terus berubah. Mendukung terapi, termasuk transfusi dari sel-sel yang hilang (yaitu, sel darah merah, platelet), dan pengobatan infeksi adalah pengobatan utama. Obat baru seperti 5-azacytidine (azacytidine [Vidaza]), 5-aza-2-deoxycytidine (decitabine [Dacogen]), dan lenalidomide (Revlimid) yang sekarang disetujui oleh US Food and Drug Administrasi untuk myelodysplastic syndrome (MDS).10,11,12
Lenalidomide, sebuah 4-amino-glutarimide thalidomide analog, yang lebih kuat bahwa thalidomide tetapi kekurangan yang neurotoxicity dan efek teratogenic, aktif dalam rendah dan Int-1 (IPSS) myelodysplastic risiko sindrom (MDS) pasien-khususnya, pasien dengan kariotipe dicirikan oleh penghapusan 5q31 (75% erythroid tanggapan), 70% cytogenetic respon (26% CR) dengan 36% mencapai sumsum tulang normal histologis. 50% respon diamati pada non5q-MDS dengan low/Int-1.1
Epigenetik modulasi fungsi gen adalah suatu mekanisme seluler yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa metilasi DNA mengarah kepada pembungkaman gen supresor dan meningkatkan risiko AML transformasi. Hypomethylating DNA yang kuat analog pirimidin azacytidine dan seorang agen yang relatif baru-baru ini disetujui oleh FDA, decitabine, dapat mengurangi hypermethylation dan mendorong reexpression kunci gen supresor tumor di myelodysplastic syndrome (MDS). Agen ini efektif dalam skor Int-2/high-risk myelodysplastic IPSS syndrome (MDS) pasien (25% Int-1, 48% di Int-2, dan 64% pada risiko tinggi).1
Dibandingkan dengan perawatan yang mendukung, baik agen menunjukkan respons keseluruhan (60% [azacytidine] vs 5% [decitabine]) dan waktu lebih lama untuk progresi untuk AML atau kematian dan peningkatan kualitas hidup tapi tidak ada keuntungan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Fase III uji coba yang melibatkan 358 pasien dengan risiko tinggi myelodysplastic syndrome (MDS), seperti yang didefinisikan oleh subtipe FAB dan IPSS dari Int-2 atau tinggi menunjukkan bahwa pasien yang dirawat dengan azacytidine signifikan meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan, dan 2 tahun kelangsungan hidup dua kali lipat dibandingkan dengan konvensional terapi pendukung. Pasien dengan Sitogenetika miskin di azacytidine memiliki tiga kali lipat kelangsungan hidup dan peningkatan dua kali lipat waktu mereka untuk transformasi ke leukemia akut. Ini kini dianggap sebagai terapi standar untuk myelodysplastic berisiko tinggi syndrome (MDS) pasien.10,13
Dalam fase III, internasional, multicenter, terkendali, kelompok paralel, open-label trial pasien dengan risiko tinggi myelodysplastic sindrom (MDSs), et al Fenaux diamati azacitidine perawatan dengan kelangsungan hidup secara keseluruhan meningkat rata-rata relatif terhadap perawatan konvensional. Pasien (n = 358) secara acak untuk menerima azacitidine (75 mg/m2/d untuk 7 d q28d) atau konvensional care (perawatan suportif terbaik, sitarabin dosis rendah, atau kemoterapi intensif yang dipilih oleh penyidik sebelum pengacakan). Titik akhir primer adalah kelangsungan hidup secara keseluruhan. Pada 2 tahun, 50,8% (95% confidence interval [CI], 42,1-58,8) pasien dalam grup azacitidine masih hidup dibandingkan dengan 26,2% (18,7-34,3) dalam kelompok perawatan konvensional (p <0,0001).14
Lain obat baru untuk myelodysplastic syndrome (MDS) adalah yang dihasilkan pada langkah cepat sebagai uji klinis baru terus membuat terobosan pada hasil dalam meningkatkan kualitas hidup dan, pada akhirnya, kelangsungan hidup secara keseluruhan. Sinergi sedang dicari dengan kombinasi baru obat-obatan yang aktif dan kurang aktif obat-obatan. Semakin banyak yang sedang belajar tentang biologi myelodysplastic syndrome (MDS) melalui mekanisme molekuler dan kemampuan untuk mengubah target molekuler tersebut, penelitian telah membuka pintu baru untuk pengobatan ini tidak jelas dan miskin sekali-penyakit hasil.1
Bagi para praktisi yang melihat pasien-pasien ini di kantor mereka, penulis ingin tetap mendorong mereka untuk mengirim mereka untuk uji klinis di pusat-pusat akademik dan MDS Center of Excellence. Mengobati gejala untuk meningkatkan kualitas hidup. Langkah-langkah ini bersifat sementara. Lebih langkah-langkah jangka panjang diperlukan untuk merangsang sumsum tulang pasien produksi sel darah dewasa. Mendukung perawatan termasuk transfusi sel darah merah atau platelet. Tujuannya adalah untuk menggantikan sel yang mengalami apoptosis prematur dalam sumsum tulang pasien. Pedoman untuk transfusi pada pasien dengan sindrom myelodysplastic (MDS) dan sumsum tulang kegagalan adalah sebagai berikut: Penurunan transfusi komplikasi yang terkait dengan menggunakan terkuras Leukocyte-produk darah, yang telah terbukti menurunkan demam nonhemolytic reaksi, mencegah platelet alloimmunization dan Ketahanan api, dan mencegah sitomegalovirus transmisi. Selain itu, praktek ini telah terbukti untuk mencapai yang lebih baik pengawasan mutu produk darah di samping tempat tidur dibandingkan dengan penyaringan dan telah terbukti efektif biaya.1
Pasien dengan moderat hingga berat RBC anemia memerlukan penggantian. Transfusing dikemas sel darah merah untuk anemia parah atau gejala pasien manfaat sementara, hanya untuk hidup dari sel darah merah ditransfusikan (2-4 wk). Pasien dengan gagal jantung kongestif mungkin tidak mentolerir tingkat yang sama seperti muda anemia pasien dengan fungsi jantung normal, dan lambat atau volume kecil (misalnya, dikemas sel darah merah) transfusi dengan bijaksana penggunaan diuretik harus dipertimbangkan. Pertimbangkan mengelola khelasi besi untuk pasien yang menerima 20 atau lebih unit sel darah merah dikemas untuk mencegah kerusakan jaringan hati, jantung, pankreas, dan jaringan lain. Rendah Int-1 myelodysplastic risiko sindrom (MDS) pasien dengan kelangsungan hidup jangka panjang akan mengembangkan besi akibat transfusi yang berlebihan dan dapat mengakibatkan kegagalan organ signifikan dan morbiditas. Beberapa bukti menunjukkan bahwa besi yang berlebihan dalam tulang sumsum menambah selular apoptosis awal kontribusi dari lingkungan mikro. Pedoman saat ini menyarankan memulai terapi khelasi zat besi pada pasien dengan rendah-Int-1 myelodysplastic risiko sindrom (MDS) pasien yang telah menerima> 20-25 unit dikemas sel darah merah atau yang memiliki tingkat feritin serum> 1000 ?g / L. Deferoxamine (Desferal) adalah sulit untuk melaksanakan pada pasien usia lanjut karena harus diberikan parenteral subcutaneously oleh pompa selama 12 jam setiap hari untuk menjadi efektif. Hal ini sering diberikan pada waktu yang sama seperti RBC transfusi, yang tidak efektif. Deferasirox (Exjade) adalah lisan disetujui FDA, dispersible tablet yang dilarutkan dalam 7 oz air dan dikelola oleh mulut satu kali sehari. Hal ini diekskresi di urin tidak kotoran, dan itu adalah 100 kali lipat lebih aktif sebagai chelator besi.1
Transfusi platelet bermanfaat untuk menghentikan pendarahan di thrombocytopenic aktif pasien, tetapi hidup untuk transfusi trombosit hanya 3-7 hari. Hindari sering diulang dan transfusi trombosit di nonbleeding klinis pasien karena hitungan trombosit rendah (<20,000 / ?L). Langkah-langkah jangka panjang untuk mencegah perdarahan kulit dan mukosa dapat dilakukan dengan pemberian agen antithrombolytic lisan seperti profilaksis oral aminocaproic epsilon-asam (Amicar) untuk menghindari alloimmunization. Mengobati infeksi dan neutropenia. Infeksi yang mengancam nyawa, terutama jamur etiologi, memerlukan granulosit dengan agen antijamur. Beberapa pasien mungkin memerlukan transfusi granulocyte, tetapi alloimmunization risiko tinggi, seperti risiko Ketahanan api berkembang untuk masa depan terapi transfusi.1
Merangsang produksi sel sumsum tulang, dan mengurangi kelebihan apoptosis sel sumsum tulang. Hematopoietic faktor pertumbuhan seperti eritropoietin (EPO [Procrit]) untuk anemia telah ditunjukkan untuk memperbaiki anemia pada 20-25% dari pasien dengan myelodysplastic dipilih syndrome (MDS). Panjang bertindak EPO-analog, darbepoetin (Aranesp), tampaknya paling tidak sama efektifnya dengan epoetins alfa atau beta.15 Studi tahap II melaporkan tingkat tanggapan 60% dalam risiko rendah skor myelodysplastic IPSS syndrome (MDS ) pasien dengan RA dan pada pasien dengan tingkat EPO serum di bawah 500 U / L dan kebutuhan transfusi kurang dari 2 unit per bulan. Of myelodysplastic syndrome (MDS) pasien dengan neutropenia, 75% merespon granulocyte koloni-stimulating faktor (Neupogen).16
Dari myelodysplastic syndrome (MDS) pasien dengan anemia dan neutropenia, 75% merespon kombinasi granulocyte eritropoietin dan koloni – merangsang faktor (G-CSF) untuk neutropenia mereka, dengan 50% peningkatan erythroid respons. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa penambahan dosis rendah G-CSF sinergis meningkatkan respons terhadap EPO erythroid-khususnya, pasien dengan RARs. Sebuah reanalysis yang menggunakan klasifikasi WHO menunjukkan respons yang jauh lebih baik di RARs (75%) daripada di RCMD-RS (9%). Hal ini mungkin G-CSF mencerminkan kemampuan untuk sangat menghambat pelepasan sitokrom c dan karenanya mitokondria-apoptosis dimediasi di RARs erythroblasts.1
Mencegah transisi ke leukemia akut oleh agen demethylating mengelola azacitidine. Sebuah pengadilan penting dalam semua tahap myelodysplastic syndrome (MDS) menunjukkan 37% respon (7% lengkap respon, 16% respons parsial) versus 5% tanggapan di lengan kontrol (P <0,001), dengan peningkatan rata-rata waktu untuk transformasi atau kematian (21 mo untuk mo azacitidine vs 13 untuk kontrol, P = 0,001) dan transformasi untuk leukemia (15% untuk azacitidine vs 38% untuk kontrol, P = 0,001).11

PengobatanSindroma mielodisplastik (myelodysplastic syndrome [MDS]) adalah sekelompok gejala heterogen akibat gangguan-gangguan pembelahan hematopoietik yang saling berkaitan erat. Pada tahap awal, penyebab utama sitopenia adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Seiring perkembangan penyakit menjadi leukemia, mutasi gen berikutnya akan terus terjadi (meskipun jarang) dan proliferasi sel leukemik akan mendesak sumsum tulang yang masih sehat. French-American-British (FAB) Cooperative Group membagi penyakit ini menjadi 5 kelompok yang membedakannya dari leukemia mieloid akut: RA, RARS, RAEB, RAEB-T dam CMML.
Gejala klinis yang harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang untuk MDS berkaitan dengan rendahnya hitung sel darah tepi, biasanya dari anemia, neutropenia, atau trombositopenia. Hitung darah tepi mencerminkan sitopenia tunggal (anemia, trombositopenia, atau neutropenia) pada tahap awal atai bisitopenia (2 lini sel) dan pansitopenia (3 lini sel) pada tahap akhir. Penentuan stadium untuk MDS menggunakan kriteria International Prognostic Scoring System (IPSS). Terapi suportif mencakup transfusi dari sel-sel yang hilang (yaitu, sel darah merah, platelet), dan pengobatan infeksi. Obat baru seperti 5-azacytidine (azacytidine [Vidaza]), 5-aza-2-deoxycytidine (decitabine [Dacogen]), dan lenalidomide (Revlimid) juga telah banyak digunakan.

SINDROMA METABOLIK

SINDROMA METABOLIK

Pendahuluan
Sindroma metabolik adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai kompensasi sel beta pankreas. Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskular diabetes melitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik seta penyakit-penyakit lainya. Sindroma ini pertama kali diamati dan dilaporkan pada tahun 1923 yang mengkategorikannya sebagai gabungan dari hipertensi, hiperglikemia, dan gout. Berbagai abnormalitas metabolik lain dikaitkan dengan sindroma ini diantaranya obesitas, mikroalbuminuria, dan abnormalitas fibribolisis dan koagulasi. Prevalensi sindroma metabolik (SM) diperkirakan akan meningkat dalam beberapa waktu belakangan ini. Hal tersebut sangat terkait dengan perubahan pola hidup di masyarakat. Prevalensi SM pada populasi yang berusia 20 -25 tahun keatas di India sekitar 8%, dan di Amerika Serikat sebanyak 24% (Atul, dkk, 2006). Sindroma metabolik juga memiliki dampak yang buruk terhadap prognosis penyakit kardioserebrovaskuler. Penelitian Klein, dkk (2007) memperlihatkan bahwa 21,7% pasien gangguan jantung dengan sindroma metabolik akan mengalami kejadian penyakit karioserebrovaskuler (infark miokard akut, stroke, atau kematian mendadak) ulang dalam waktu pengamatan 6,7 tahun.


Kriteria
Sindrom metabolik dikenal pertama klai sebagai sindrom X yang mengkaitkannya dengan resistensi insulin (Reaven 1988). Namun dalam perkenbangannya, berkembang beberapa kriteria yang sebsenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh dalam keadaan sakit. Menurut buku panduan dari National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel (ATP III) tahun 2001, terdapat tiga ciri utama kriteria sindroma metabolik, yaitu :
• Lingkar perut pada laki laki lebih dari 102 cm dan lebih dari 88 cm pada perempuan.
• Kadar triglycerida darah lebih dari 150 mg/dl.
• HDL kolesterol lebih rendah dari 40 mg/dl pada laki laki dan 50 mg/dl pada perempuan.
• Tekanan darah diatas 130/85 mmHg.
• Gula darah puasa lebih dari 110 mg/dl.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III ini lebih banyak digunakan karena antara lain lebih memudahkan dalam mengidentifikasi seseorang dengan sindroma metabolik.
Terdapat sedikit perbedaan kriteria menurut World Health Organization (WHO) yakni :
• Kadar insulin yang tinggi, peningkatan kadar gula darah puasa atau peningkatan kadar gula darah 2 jam setelah makan dengan diikuti oleh sekurang kurangnya 2 kriteria tambahan di bawah ini :
• Kegemukan pada daerah perut dengan rasio antara pinggang dan pinggul lebih dari 0,9, body mass index (BMI) sekurang kurangnya 30 kg/m2 atau lingkar pinggang lebih dari 37 inchi.
• Pada pemeriksaan kolesterol ditemukan kadar triglycerida sekurang kurangnya 150 mg/dl atau HDL kolesterol kurang dari 35 mg/dl.
• Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.


Selain itu, terdapat kriteria lainnya seperti dari IDF (International Diabetes Federation) pada tahun 2005 yaitu, kondisi dimana lingkar pinggang (LP) ¬¬> 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita ditambah 2 dari 4 yang tersebut berikut ini: Trigliserid > 150 mg/dl ; ii) Kolesterol-HDL pria < 40 mg/dl dan Kolesterol-HDL wanita < 50 mg/dl ; iii) Tekanan darah > 130/85 mmHg ; iv) Glukosa darah puasa > 100 mg/dl.
Penyebab Sindroma Metabolik
Dari beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa faktor genetik dan lingkunganlah yang memegang peranan penting terjadinya sindroma metabolik.Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan kemungkinan seseorang menderita sindroma metabolik. Fator lingkungan yang berperan antara lain kurangnya berolah raga, gaya hidup yang buruk, dan peningkatan berat badan yang terlampau cepat.Sindroma metabolik terjadi pada 5% orang dengan berat badan normal, 22% pada orang dengan kelebihan berat badan dan 60% pada orang yang gemuk. Orang dewasa yang berat badannya meningkat lebih dari 5 kg per tahun akan meningkatkan pula resiko terjadinya sindroma metabolik sekitar 45%.
Jadi, melihat gambaran diatas, kegemukan merupakan faktor resiko yang sangat penting terjadinya sindroma metabolik disamping hal hal berikut :
• Perempuan yang telah memasuki menopause.
• Merokok.
• Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat.
• Kurang berolah raga.
• Mengkonsumsi minuman beralkohol.
Faktor-faktor tersebut merupakan cirri-ciri dari pola hidup yang “Westernized” (kebarat-baratan) yang dapat memicu timbulnya penyakit yang erat hubungannya dengan pola hidup (“ Life Style Related Disease”) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1980an dan sebagai salah satu contoh yang jelas adalah Sindroma Metabolik.

Menurut Prof. Dr. dr. Askandar Tjokroprawiro, Sp.PD-KEMD, perjalanan SIMET (sindroma metabolik) dapat dibagi menjadi 4 stadium. Dokter yang menjadi kepala Bagian Penyakit Dalam sekaligus juga Kepala Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr Soetomo ini menyebutkan bahwa awal dari timbulnya SIMET. "Pola hidup Barat" atau Westernized seperti gemar mengonsumsi junk food, makanan berlemak dan makanan yang manis-manis. Dalam waktu agak lama, bila kebiasaan buruk ini berlanjut akan mengakibatkan obesitas (stadium dua), terutama yang berbahaya adalah jenis obesitas abdominal. Obesitas jenis ini banyak terjadi pada orang Indonesia. Lemak cenderung lebih mudah ditimbun di daerah perut (peritonium) namun lebih mudah pula untuk mengalami lipolisis sehingga akan terdapat dalam jumlah besar di peredaran darah. Komposisi lemak yang tinggi dalam darah (dislipidemia atherogenik) memicu timbulnya atherosklerosis, kecenderungan trombosis dan kelainan kardiovaskuler lain. Pada stadium tiga mulailah masuk stadium preklinik. Sindroma metabolik pada umumnya mulai terjadi pada stadium ini. Penderita tampak dalam kondisi Pre-DM. Obesitas pada anak juga termasuk dalam stadium ini. Penyakit dengan gejala klinis yang jelas baru manifes pada stadium 4 dimana telah timbul penyakit jantung koroner, DM Tipe 2, Stroke dan lain-lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Komplikasi yang mengikuti Sindroma Metabolik
Kegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan dislipidemia secara sendiri-sendiri sudah sejak lama diketahui sebagai factor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Demikian pula adanya faktor-faktor tersebut secara bersamaan pada seseorang telah sangat dikenal akan jauh meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner. Dengan demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan untuk mendapatkan / terkena penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler lainnya akan meningkat. Sindroma metabolik meningkatkan resiko terjadinya diabetes tipe 2 antara 9 sampai 30 kali pada populasi. Sedangkan resiko terjadinya penyakit jantung meningkat antara 2 sampai 4 kali.
Disamping menyebabkan kedua penyakit diatas, sindroma metabolik juga dapat menyebabkan timbunan lemak pada hati (fatty liver), yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadi sirosis. Ginjal juga akan terkena dampak yakni terjadinya kebocoran protein pada urine yang berpotensi terjadinya kerusakan ginjal.

Penatalaksanaan
Atas dasar pengalaman, terjadinya ‘Life Style Related Disease’ melalui urutan 4 stadium yaitu :
1. Stadium Life Style Westernized (Nutrition and physical actifity)
2. Stadium Obesitas (khususnya Obesitas Abdominal)
3. Stadium Sindroma Metabolik
4. Stadium Penyakit Kardiovaskuler (Jantung koroner, stroke)
Agar supaya Sindroma Metabolik tidak menjadi Penyakit Kardiovaskuler perlu dilakukan antisipasi pada Sindroma Metabolik, dengan penanganan (pengobatan) yang baik. Tentunya dengan tidak mengabaikan intervensi pada stadium 1 dan 2.Faktor resiko yang memicu perkembangan Sindroma Metabolik adalah kelebihan berat badan dan obesitas, inaktifitas fisik dan diet aterogenik (tinggi kolesterol dan lemak jenuh). Semua petunjuk (guidelines) terkini penatalaksanaan komponen Sindroma Metabolik menekankan modifikasi gaya hidup ( Life style modification) yaitu penurunan berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik sebagai pengganti pengobatan lini pertama (intervensi stadium 1,2 ).
Guidelines/ petunjuk penanganan obesitas menekankan pentingnya penurunan berat badan dengan cara mengubah perilaku untuk menurunkan asupan kalori dan meningkatkan aktifitas fisik. Diet yang efektif dan sehat untuk penurunan berat badan jangka panjang adalah menurunkan diet energi, terdiri dari pengurangan kalori derajat sedang yaitu 500-1000 kalori / hari.Olah raga dan fitness secara teratur menunjukkan perbaikan beberapa factor resiko metabolic dan dikaitkan dengan penurunan resiko berkembangnya penyakit kronik. Inaktifitas fisik merupakan kontributor penting berkembangnya Sindroma metabolic.
Guideline aktivitas fisik terkini merekomendasikan latihan sedang, teratur dan praktis. Rekomendasi latihan standar adalah aktifitas fisik intensitas sedang minimal 30 menit/hari.Guideline diet untuk Sindroma Metabolik merekomendasikan komposisi diet secara umum dengan menganjurkan asupan rendah lemak jenuh dan kolesterol, mengurangi konsumsi gula sederhana dan meningkatkan asupan buah-buahan, sayur dan padi-padian (whole grain).
Faktor resiko utama yang tidak dapat diatasi dengan perubahan gaya hidup harus ditatalaksanakan dengan terapi specific untuk memperbaiki dislipidemia, resistensi insulin dan hipertensi.

Malaria Cerebral

Malaria Cerebral

PENDAHULUAN
Infeksi malaria masih merupakan problema klinik bagi negara tropik/ sub-tropik dan negara berkembang maupun negara yang sudah maju. Di Indonesia penyakit malaria masih menjadi masalah bagi daerah di Jawa dan Sumatra yang dahulunya sudah dapat dikendalikan. Dengan perkembangan transportasi, mobilisasi penduduk dunia khususnya dengan berkembangnya dunia wisata, infeksi malaria juga merupakan masalah bagi negara-negara maju karena munculnya penyakit malaria di negara tersebut. Masalah mortalitas malaria berat seperti malaria serebral dan morbiditas mempunyai kaitan erat dengan timbulnya resistensi pengobatan dan kewaspadaan terhadap diagnosa dini dan penanganannya.
Malaria serebral merupakan salah satu bentuk komplikasi malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falsiparum. Gejala-gejala kliniknya dapat sangat akut, penderita yang kesadarannya baik mendadak dapat menurun kesadarannya dengan atau tanpa diserta gejala-gejala neurologis.

DEFINISI
Malaria dalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria serebral memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap >30 menit setelah kejang disertai adanya P. Falsiparum yang dapat ditunjukkan dan penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.
EPIDEMIOLOGI
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang tersebar di seluruh dunia. Kira-kira lebih dua milyar atau lebih 40 % penduduk dunia hidup di daerah bayang-bayang malaria. Jumlah kasus malaria di Indonesia kira-kira 30 juta/tahun, angka kematian 100.000/ tahun.
Di Pakistan, selama 5 tahun dari tahun 1991-1995 terdapat 1620 pasien koma, 505 pasien dengan malaria serebral. Dimana didapatkan, kasus malaria serebral pada anak 64 % dan orang dewasa 36 %. Mortalitas pada anak 41 % dan orang dewasa 25 %.6 Di Nigeria, didapati 78 anak yang menderita malaria serebral, 16 penderita (20,5 %) meninggal dan 62 penderita (79,5 %) sembuh.

ETIOLOGI
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa intraseluler dari genus plasmodium. Empat spesies dari plasmodium menyebabkan malaria pada manusia antara lain: Plasmodium falsiparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.
Plasmodium falsiparum adalah infeksi yang paling serius dan yang sering memberi komplikasi malaria berat antara lain malaria serebral dengan angka kematian tinggi. Penyebab paling sering dari kematian khususnya pada anak-anak dan orang dewasa yang non-imun adalah malaria serebral.

PATOGENESIS
Infeksi parasit malaria pada manusia dimulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati dalam darah. Didalam sel parenkim hati, mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum dan waktu 15 hari untuk plasmodium malariae. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian parasit dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P.vivax, reseptor ini akan berhubungan dengan faktor antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P.falciparum diduga suatu glycophorins, sedangkan pada P.malariae dan P.ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari 12 jam, parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P.falciparum berubah menjadi stereo-headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya yang dikelilingi oleh sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah lonjong. Pada P.falciparum, dinding eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob yang pada nantinya penting dalam proses cytoadherens dan rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P.falciparum, P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan pada P.malariae adalah 72 jam.
Didalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, bila nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya akan membentuk oocyt yang akan menjadi masak dan akan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
Patogenesis dari malaria serebral masih belum memuaskan dan belum dimengerti dengan baik Patogenesis dari malaria serebral berdasar pada kelainan histologis. Eritrosit yang mengandung parasit (EP) muda (bentuk cincin) bersirkulasi dalam darah perifer tetapi EP matang menghilang dalam sirkulasi dan terlokalisasi pada pembuluh darah organ disebut sekuester. Eritrosit matang lengket pada sel endotel vaskular melalui knob yang terdapat pada permukaan eritrosit sehingga EP matang melekat pada endotel venula/ kapiler yang disebut sitoadherens. Kira-kira sepuluh atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi menyelubungi 1 EP matang membentuk roset. Adanya sitoadherens, roset, sekuester dalam organ otak dan menurunnya deformabilitas EP menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya hipolsia jaringan.
GAMBARAN KLINIS
Penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi, absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat menuntun cepat masuk dalam koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala yang bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma. Kesadaran menurun dinilai dengan GCS yang dimodifikasi 8 senilai dengan sopor dan anak-anak dinilai skor dari Balantere <>somnolen atau delir disertai disfungsi serebral.
Pada dewasa kesadaran menurun setelah beberapa hari klinis malaria dan anak-anak lebih pendek dibawah 2 hari. Lama koma pada dewasa umumnya 2-3 hari sedangkan anak-anak pulih kesadaran lebih cepat setelah mendapat pengobatan.
Pada kesadaran memburuk atau koma lebih dalam disertai dekortikasi, deserebrasi, opistotonus, tekanan intrakranial meningkat, perdarahan retina, angka kematian tinggi. Pada penurunan kesadaran penderita malaria serebral harus disingkirkan kemungkinan hipoglikemik syok, asidosis metabolik berat, gagal ginjal, sepsis gram negatif atau radang otak yang dapat terjadi bersamaan. Pada anak sering dijumpai tekanan intrakranial meningkat tetapi pada orang dewasa jarang.
Gejala motorik seperti tremor, myoclonus, chorea, athetosis dapat dijumpai, tapi hemiparesa, cortical blindness dan ataxia cerebelar jarang. Gejala rangsangan meningeal jarang. Kejang biasanya kejang umum juga kejang fokal terutama pada anak. Hipoglikemi sering terjadi pada anak, wanita hamil, hiperparasitemia, malaria sangat berat dan sementara dalam pengobatan kina. Hipoglikemi dapat terjadi pada penderita mulai pulih walaupun sementara infus dxtrose 5 %. Hipoglikemi disebabkan konsumsi glukosa oleh parasit dalam jumlah besar untuk kebutuhan metabolismenya dan sementara pengobatan kina. Kina menstimulasi sekresi insulin.
Malaria serebral sering sisertai dengan bentuk lain malaria berat. Pada anak sering terjadi hipoglikemi, kejang, dan anemi berat. Pada orang dewasa sering terjadi gagal ginjal akut, ikterus, dan udema paru. Biasanya suatu pertanda buruk, perdarahan kulit dan intestinal jarang. Sepsis dapat terjadi akibat infeksi karena kateter, infeksi nosokomial atau kemungkinan bakteremia. Bila terjadi hipotensi berat, kemungkinan disebabkan : sepsis gram negatif, udema paru, metabolik asidosis, perdarahn gastrointestinal, hipovolemi dan ruptur limpa.

LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan hapusan darah tipis dapat ditemukan parasit plasmodium. Pemeriksaan ini dapat menghitung jumlah parasit dan identifikasi jenis parasit. Bila hasil Θ, diulangi tiap 6-12 jam.
b. QBC ( semi quantitative buffy coat)
Prinsip dasar: tes fluoresensi yaitu adanya protein plasmodium yang dapat mengikat acridine orange akan mengidentifikasikan eritrosit terinfeksi plasmodium. Tes QBC adalah cepat tapi tidak dapat membedakan jenis plasmodium dan hitung parasit.
c. Rapid Manual Test
RMT adalah cara mendeteksi antigen P. Falsiparum dengan menggunakan dipstick. Hasilnya segera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3 % dan spesifutasnya 82,5 %.
d. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Adalah pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit plasmodium dalam darah. Amat efektif untuk mendeteksi jenis plasmodium penderita walaupun parasitemia rendah.3

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis malaria serebral
1. Penderita berasal dari daerah endemis atau berada di daerah endemis
2. Demam atau riwayat demam yang tinggi
3. Adanya manifestasi serebral berupa penurunan kesadaran dengan atau tanpa gejala
neurologis lain, sedangkan kemungkinan penyebab lain telah disingkirkan.
4. Ditemukan parasit malaria dalam sediaan darah tepi
5. Tidak ditemukan kelainan cairan serebrospinal yang berarti

DIAGNOSIS BANDING
1. Demam Tifoid. Mempunyai banyak persamaan dengan gejala-gejalanya. Masih bisa dibedakan dengan adanya gejala stomatitis dengan lidah tifoid yang khas, batuk-batuk, meterorismus, dan bradikardi relatif yang kadang-kadang ditemukan pada demam tifoid. Kultur darah untuk salmonella pada minggu pertama kadang-kadang bisa membantu diagnosis. Widal bisa positif mulai minggu kedua, dianjurkan pemeriksaan berulang pada titer yang masih rendah untuk membantu diagnosis. Kemungkinan adanya infeksi ganda antara malaria dan demam tifoid kadang-kadang kita temukan juga.
2. Septikemia. Perlu dicari sumber infeksi dari sistem pernapasan, saluran kencing, dan genitalia, saluran makanan dan otak.
3. Ensefalitis & Meningitis. Dapat disebabkan oleh bakteri spesifik maupun oleh virus. Kelainan dalam pemeriksaan cairan lumbal akan membantu diagnosis
4. Dengue Hemoragik Fever/ DSS. Pola panas yang berbentuk pelana disertai syok dan tanda tanda perdarahan yang khas akan membantu diagnosis walaupun trombositopenia dapat juga terjadi pada malaria palsifarum namun jarang sekali memberikan gejala perdarahan. Hematokrit akan membantu diagnosis.
5. Abses hati amubik. Hepatomegali yang sangat nyeri dan jarang sekali disertai ikterus dan kenaikan enzim SGOT dan SGPT akan membantu diagnosis. Fosfatase alkalis dan gamma GT kadang-kadang akan meningkat. USG akan membantu deteksi abses hati dengan tepat.

PENATALAKSANAAN
A. Tindakan Umum
Sebelum diagnosa dapat dipastikan melalui pemeriksaan darah malaria, beberapa tindakan perlu dilakukan pada penderita dengan dugaan malaria berat berupa tindakan perawatan di ICU yaitu:
1. Pertahankan fungsi vital: sirkulasi, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi
2. Hindarkan trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Hati-hati komplikasi: kateterisasi, defekasi, edema paru karena over hidrasi
4. Monitoring; temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap ½ jam. Perhatikan timbulnya ikterus
dan perdarahan.
5. Monitoring: ukuran dan reaksi pupil, kejang dan tonus otot.
6. Baringkan /posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
7. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi lakukan posisi trendelenburg, perhatikan warna dan
temperatur kulit
8. Cegah hiperpireksi
9. Pemberian cairan: oral, sonde, infus, maksimal 1500 ml bila tidak ada dehidrasi
10. Diet: porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbihidrat dan garam
11. Perhatiksn kebersihan mulut
12. Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
13. Kebersihan kulit: mandikan tiap hari dan keringkan
14. Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab
15. Perawatan anak: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakkan posisi kepala
sedikit rendah, posisi dirubah cukup sering dan pemberian cairan dan obat harus hati-hati.
B. Pengobatan untuk Parasit Malaria
Pemberian obat anti malaria
1. Kina (Kina HCl)
Merupakan obat anti malaria yang sangat efektif untuk semua jenis plasmodium dan efektif sebagai Schizontocidal maupun Gametocydal. Dipilih sebagai obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat terhadap P. falsiparum yang resisten terhadap klorokuin, dapat diberikan cepat (i.v) dan cukup aman.
2. Kinidin
Bila kina tidak tersedia maka isomernya yaitu kinidin cukup aman dan efektif sebagai anti malaria.
3. Klorokuin
Klorokuin masih merupakan OAM yang efektif terhadap P. Falsiparum yang sensitive terhadap klorokuin. Keuntungan tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak mengganggu kehamilan.
4. Injeksi kombinasi sulfadoksin-pirimetamin (Fansidar)
5. Derivat Artemisinin; merupakan obat baru yang memberikan efektifitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten.
C. Penanganan Komplikasi
1. Kejang; Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral. Penanganan/pencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi. Penanganan kejang:
○ Diazepam: i.v 10 mg; atau intra rektal 0,5-1,0 mg/ KgBB.
○ Paradelhid: 0,1 mg/ KgBB.
○ Klormetiazol (dipakai untuk kejang berulang-ulang)
○ Fenitoin: 5 mg/ KgBB i.v diberikan perlahan-lahan.
○ Fenibarbital: pemberian fenobarbital 3,5 mg/ KgBB (umur diatas 6 tahun) mengurangi terjadinya konvulsi.
2. Hipoglikemi; Bila kadar gula darah kurang dari 50 mg% maka:
○ Beri 500 ml Dekstrose 40 % i.v dilanjutkan dengan
○ Glukosa 10 % per infus 4-6 jam
○ Monitor gula darah tiap 4-6 jam, sering kadar gula berulang-ulang turun.
○ Bila perlu diberikan obat yang menekan produksi insulin seperti diazoxide, glukagon atau analog somatostatin.
3. Hiperpireksi; Hiperpireksi yang lama dapat menimbulkan kelainan neurologik yang menetap.
○ Menurunkan temperatur dengan pendinginan fisik: kipas angin, kompres air/es, selimut dingin dan perwawatan di ruangan yang sejuk.
○ Pemberian anti piretik: Parasetamol 15 mg/ KgBB atau aspirin 10 mg/ KgBB (kontraindikasi untuk kehamilan dan gejala perdarahan)
4. Anemi; Bila anemi whole blood atau packed cells.
5. Gangguan Fungsi Ginjal; serimg terjadi pada orang dewasa. Kelainan fungsi ginjal dapat bersifat pre renal, atau renal yaitu nekrosis tubuler. Gangguan pre-renal terjadi pada 50 % kasus sedangkan nekrosis tubuler hanya pada 5-10 % kasus. Bila oliguria tidak ditangani akan terjadi anuria. Tatalaksana bertujuan mencegah iskemi ginjal dengan mengatur keseimbangan elektrolit.
6. Hiperparasitemia; Exchange transfusion (transfusi ganti) terutama pada penderita parasitemia berat. Indikasi bila parasitemia > 5 % dengan komplikasi berat. Tapi transfusi ganti bukanlah tindakan mudah, dan perlu ada fasilitas screening darah. Darah yang dipakai berkisar 5-12 liter. Transfusi ganti memperbaiki anemi, mengembalikan faktor pembekuan darah, trombosit juga mengurangi toksin.

PROGNOSIS
Diagnosis dini dan pengobatan tepat prognosis sangat baik. Pada koma dalam, tanda-tanda herniasi, kejang berulang, hipoglikemi berulang dan hiperparasitemia risiko kematian tinggi. Juga prognosis tergantung dari jumlah dan berat kegagalan fungsi organ. Pada anak-anak dapat mengalami kecacatan.

TRAUMA KEPALA

TRAUMA KEPALA

Pendahuluan
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi, fisiologi dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasar morfologi :
(1). Fraktura tengkorak.
(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.
(b). Basiler :
1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.
Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS ≤ 8, adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.

BERDASAR BERATNYA
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.

BERDASAR MORFOLOGI
Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.

Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.

Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter denyut nadi (bila ada).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.

TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3. TINDAKAN TERHADAP OTAK
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak, hiperventilasi dihentikan.
Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.
Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia).
Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.

TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala. Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat membantu menentukan adanya cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong sangat menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien, untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa anda”.
Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat trauma.
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.

PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.

















Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?”
Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm Hg
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera diketahui.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA
HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA
HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.
1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.
Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8

















Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi pendek).
Herniasi ?* ± Hiperventilasi *
Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *
* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
GCS < 10.
Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
Fraktur tengkorak terdepres.
Hematoma subdural.
Hematoma epidural.
Hematoma intraserebral.
Cedera tembus tengkorak.
Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.
Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg.
Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik.
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.